Sabtu, 19 Januari 2013

Ilusi




Aku mengetuk-ngetukkan jariku di meja sambil melayangkan pandanganku ke sekeliling interior restoran. Pencahayaan yang remang-remang namun tidak gelap memberikan kesan yang menurutku cukup romantis. Kursi dan mejanya terbuat dari bahan kayu, berkesan minimalis. Tapi aku suka. Begitupun dia. Ini memang menjadi tempat favorit kami untuk makan malam. Ah, tidak biasanya dia membuatku menunggu begini. Malah dulu aku yang sering harus meminta maaf dan mentraktirnya seporsi es krim green tea karena terlambat. Belakangan ini malah aku selalu datang lebih dulu daripada Vina.


"Vino!" sebuah suara lembut menyapaku dari arah pintu masuk. Aku tersenyum sambil melambaikan tangan.

"Kamu telat lagi nih. Kena macet di jalan?"

"Iya, mana sebelum itu si papa minta dianterin ke apotik dulu. Mau beli obat darah tinggi kan. Duh maaf banget ya... Kamu udah lama nunggunya?"


Kulirik jam tanganku, 19:50. Itu berarti sudah setengah jam tepat aku menunggu. Tapi tak apalah, yang penting aku bisa bertemu kembali dengan kekasihku.


"Enggak kok!" aku mencoba tersenyum semanis mungkin kepadanya. Kuraih tangannya dan kucoba untuk menggengam jemarinya yang halus. Entah kenapa, dia refleks menarik tangannya. Mungkin ia masih letih sehabis menyetir, pikirku. Aku tak mau berpikir aneh-aneh.