Jumat, 20 Mei 2011

Budaya Menjajah

Sebelum ngelanjutin baca tulisan ini, diharapkan anda sudah pernah menempuh pendidikan di bangku kuliah, SMA, atau minimal SLTP. Kalau belum pernah, percuma dilanjutin bacanya. Pasti ga akan merasakan emosi yang terkandung di bacaan ini. Tapi terserah juga sih...

Sebelum masuk SMP, SMA, ataupun kuliah, pasti ada satu kegiatan khusus yang diselenggarakan untuk anak baru. MOS, OSPEK, atau apalah namanya, yang mungkin beda-beda antar sekolah/kampus. Sebenernya, tujuan dari kegiatan ini (katanya sih) adalah sebagai media perkenalan sang siswa baru kepada tempat baru di mana ia akan menuntut ilmu di situ nantinya.

Nah, tapi seperti yang gw bilang di atas, yang pernah ngerasain/ikut, pasti tau penyelewengan yang terjadi di dalamnya. Acara ini justru malah menjadi ajang buat ngerjain si anak baru, sekaligus secara ga langsung menanamkan kesan senioritas dan junioritas kepada para korban. Udah banyak banget cerita yang mengalir dari para peserta yang baru ngelewatin masa OSPEK. Mulai dari disuruh ngitung ubin, nyanyi teriak-teriak ga jelas, minta ngajak kenalan kakak kelas asing, disuruh yang aneh-aneh deh pokoknya. Ga pernah? Beruntunglah anda.



Sekarang pertanyaannya, pengenalan macam apa itu? Apa kegiatan belajar-mengajar kita nantinya akan seiseng itu? Kalau mereka mau jujur dan bilang, "Sebenarnya tujuan MOS ini biar adek-adek terbiasa aja, soalnya nanti selama 2 tahun menjadi junior, kalian akan dibully-bully lebih parah dari ini," mungkin gw masih bisa terima. Yah, hargai kejujuran, sepahit apapun.

Kita semua tahu, kegiatan ngerjain anak baru itu pointless. Ya, pointless. Ga ada tujuannya. Cuma buat have fun dan ngukuhin kalau kita itu senior. Alasan pengenalan sekolah itu jelas-jelas bullshit. Sepaham? Nah celakanya, si junior yang dikerjain ini, udah pasti menyimpan bara dendam di hatinya, buat dilampiasin ke anak baru pas dia jadi senior. Lingkaran setan.



Ada kenalan gw yang bilang, kalo sebenarnya budaya ini itu akar mulanya dari jaman penjajahan Belanda. Belanda sebagai kasta tertinggi, jelas aja bisa ngebully-bully orang-orang Indo dengan seenak jidatnya. Orang Indo yang masih punya bawahan, ngelanjutin ngebully bawahannya lagi. Terus begitu. Berasa agak mirip sama penjelasan gw di paragraf sebelumnya ga?



Yah, kalo sekarang, mungkin hal ini udah boleh dibilang mendarah daging pada urat nadi (ceileh) para pelajar di Indonesia. Satu-satunya cara untuk mutusin rantai ini adalah jika sang senior memutuskan untuk membiarkan anak-anak baru hidup dengan damai. Hal ini berarti menghapuskan kesempatan mereka untuk ngedapetin kesenangan dari "nyiksa" anak-anak baru, dan merelakan dendamnya yang disiksa seniornya dulu. Mungkin ga ya? Mungkin aja, kalau kita semua bisa ingat, hidup akan berjalan lebih indah kalau semuanya berdampingan dengan damai. Senioritas dan junioritas itu cuma masalah lahir duluan, bukan nentuin siapa di atas siapa, dan siapa perbudak siapa.

Ah, seandainya aja semua bisa mikir gitu ya...

1 komentar:

Dea Githa Putri mengatakan...

itu bedanya Indonesia dan Australia. di sini, gak ada tuh senioritas. contohnya, gue masuk kuliah tahun 2010, tri-semester 3 (tapi jadi semester 1 nya gue) sekarang gue uda semester 2, ambil kelas Public Relations tapi gue sekelas sama anak yang baru masuk (jadi mereka masih semester 1) so kita gak beda2in mana senior mana junior.
selain itu, kita juga gak ada tuh MOS kyk di Indonesia yang di suruh ini itu. Emang sih looks boring for those who like bullying, tp buat anak yang baru masuk, jadi merasa sangat diterima :)

Posting Komentar

Jadilah pembaca yang aktif, tinggalkan komentar dan mari berbagi pikiran!