Minggu, 25 November 2012

Seminggu Terindah dalam Hidupku

Hujan merupakan tangisan dari langit, dan bersama dengan hujan, langit ingin kita ikut merasakan kesedihannya. Entah kenapa, aku selalu menangkap sesuatu yang romantis dari hujan. Seakan butiran-butiran air yang menyambar kaca mengajak kita untuk menari bersamanya. Seakan hujan yang menyambar di wiper mobil mencoba membuat kita merasakan kesedihannya. Dan ketika kita terjebak dalam hujan yang deras sampai tidak punya pilihan lain selain mencari tempat berteduh dan menunggu sampai matahari kembali dari persembunyiannya, aku selalu berpikir; mungkinkah ini pertanda dari alam? Bahwa tidak ada yang bisa melawan kekuatan-Nya, sehebat apapun persiapan kita?


Dan hujan juga lah yang selalu membawa kenanganku kembali kepada seorang wanita yang termasuk wanita yang paling kucintai dalam hidupku. Cerita ini bermula ketika dua anak manusia yang terjebak pada sebuah halte bus di Minggu sore yang awalnya cerah. Pertemuanku dengannya terjadi dengan seketika, secepat perpisahan kami.

Cinta adalah perangkap, ketika cinta datang kita hanya melihat sisi terangnya. Sisi gelap yang datang bersamanya tersembunyi dengan rapih, karena mata kita sibuk dengan kesilauan dari ilusi yang ditampilkan. Setidaknya begitulah pendapat seorang penulis terkenal dari Brazil sana. Memang kadang kalau dipikir, cinta yang liar bisa bermain dengan imajinasi kita dengan bebasnya, entah siapa yang memberi izin. Entah itu kenangan atau bahkan khayalan. Semua dari yang sudah terkubur dalam masa lalu sampai yang mungkin tidak akan terjadi, semua bisa dicampur adukkan dalam sebuah hati yang dimabuk oleh cinta. Ah, mungkin karena itu orang menyebutnya jatuh cinta. Karena kita tidak pernah melangkah ke dalam cinta. Kita hanya jatuh, dan setelah itu kita tidak punya kendali apa-apa lagi.

Pernahkah engkau bertemu dengan seseorang dan padahal itu adalah pertemuan pertama kalian, tapi kalian merasa seakan sudah mengenal orang itu selama belasan tahun? Ya, aku juga mengalaminya saat bertemu wanita cantik itu. Kulit putih laksana warna susu, rambut hitam lurus sepinggang. Bibir mungil, serta tatapan mata yang sendu, lemah dan seakan meminta perlindungan dari sosok lelaki yang tegar. Betapa sulit aku menahan diriku untuk sekedar memeluknya dan berkata semua akan baik-baik saja jika kau berada dalam dekapanku!

Obrolan singkat yang diawali dengan gerutuan yang sama bahwa kita sama-sama terjebak dalam ketidakberuntungan yang sama mengalir dengan hangat. Cerita-cerita mengenai kehidupan sehari-hari mengalir sederas air yang dari pinggir trotoar menuju kembali ke jalan. Aku yakin dia sama sepertiku, diam diam berharap bahwa hujan akan bertahan selama mungkin. Walaupun baju ini sudah basah kuyup dan mungkin jika aku memakainya lebih lama lagi aku akan memiliki resiko lebih besar terkena flu, aku tidak peduli. Tawanya yang renyah dan matanya yang membulat besar setiap aku bercerita pengalaman jenakaku, tak akan pernah cukup untuk aku nikmati.

Pada akhirnya, sekali lagi alam menunjukkan kehendaknya yang lain. Seakan ingin memastikan kuasanya pada setiap jengkal hidup kita. Hujan yang kuyakini selalu membawa hawa kesedihan, kini perannya digantikan dengan sinar matahari yang sayup-sayup memudarkan pertemuanku dengannya. Memang kami sempat bertukar nomor telepon, tapi apa yang bisa menggantikan percakapan di mana kedua orang bertemu langsung? Sehebat apapun media komunikasi yang diciptakan manusia, aku tetap lebih memilih ketika aku bisa bertemu dengan suatu jiwa yang lain di depanku, baru memulai percakapan kita dari hati ke hati. Atau otak ke otak. Atau apapun. Karena terlalu banyak salah paham yang dapat muncul dari kumpulan teks tanpa nyawa.

Dua hari, tiga hari aku menunggu dalam debar sebelum memutuskan untuk menelponnya. Telpon yang sangat singkat, hanya berisi janji untuk bertemu. Kunantikan hari Sabtu minggu depan dengan penuh harap dan cemas. Mau kuajak ke mana dia nanti? Apakah aku harus mengenakan kemeja, kaus, atau polo dengan cardigan? Masakan Korea, Jepang, barat, atau Indonesia yang lebih diminatinya? Kucoba menutup mataku dan sekalian menutup pikiranku agar tidak bekerja lebih lanjut. Alih - alih menurutiku, justru ia semakin memberontak. Imajinasiku tumbuh semakin liar. Sembari mencoba berdamai dengan pikiranku sendiri, hari yang dinanti-nantikan datang juga.

Aku cukup yakin kita semua sudah banyak belajar mengenai hidup. Dalam hidup, bisa saja apa yang kita harapkan tidak akan tercapai, dan sebaliknya, yang tidak kita harapkan malah terwujud di depan mata kita. Kali ini ternyata keberuntungan masih berpihak denganku. Pertemuan kedua dengan gadis impianku berjalan dengan baik, walaupun tetap tidak sehebat yang pertama. Kami menghabiskan malam di sebuah cafe diiringi band yang memainkan lagu akustik yang lembut. Persetan apalah lagunya, aku hanya ingin menatap dalam-dalam pada kedua bola mata dengan iris berwarna kecoklatan itu. Kami bertukar banyak cerita mengenai masa lalu dan kebiasaan kami. Mengenai rutinitas hidup dan impian kami. Mengenai hobi dan selera-selera kami. Ternyata ia berasal dari pulau seberang dan hanya sekedar berlibur saat ini. Berapa lama ia akan tinggal? Berapa lama aku bisa bersamanya? Apa kami akan masih bisa berhubungan ketika ia pulang nanti?Ribuan pertanyaan kembali berkecamuk, yang memaksaku untuk meneguk segelas minuman kembali, berharap itu akan membantu pikiranku agar mau mengadakan gencatan senjata. 

Pada akhir malam tersebut, aku mendapat suatu kecupan yang istimewa. Kecupan yang hangat di bibir, ucapan terima kasih katanya, atas waktu yang indah yang ia habiskan bersamaku. Tapi mengapa terima kasih yang ini membuat telingaku panas dan jantungku seakan hendak melompat?

Kalau suatu saat nanti aku mempunyai cucu-cucu yang manis dan mereka mengelilingiku pada hari libur, memintaku untuk menceritakan suatu cerita, mungkin aku akan menceritakan hidupku pada minggu ini dengan sejelas-jelasnya. Minggu yang merupakan minggu terindah dalam hidupku. Tujuh hari dalam seminggu yang diisi dengan dirinya. Kami menghabiskan sarapan bersama di dekat tempat kerjaku. Kami akan bertemu pada waktu istirahat untuk makan siang. Pada malam hari setelah rutinitas yang mencekik telah berakhir, aku akan mengajaknya duduk di suatu tempat yang nyaman. Kami hanya bergandengan tangan, mengobrol sambil memperhatikan jiwa-jiwa yang berlalu-lalang. Jiwa-jiwa yang berusaha terlihat mempunyai kegiatan yang bermakna agar tidak dicap pemalas oleh masyarakat kita, masyarakat penghakim.

Pada akhir minggu, dia memutuskan untuk menghabiskan waktu di rumahku. Malam itu kami memesan pizza,  lalu menyewa 3 keping DVD untuk ditonton bersama. Di tengah film kedua, ia tertidur di bahuku. Aku mencoba membangunkannya dan menggendongnya ke kamar tamu agar tidurnya lebih nyaman, tapi dia malah memelukku dengan erat sambil menangis dalam mimpinya. Kubelai rambutnya yang memiliki aroma vanilla samar-samar, lalu kukecup keningnya. Malam itu berakhir sampai di situ.

Dan keesokan harinya ia hilang. Aku cuma sempat menemukan sepucuk surat pada meja ruang tengahku. Surat perpisahan. Ternyata ia kembali ke kota asalnya karena pesta pernikahan yang telah diatur oleh orang tuanya. Tanganku bergetar hebat. Kubaca berulang kali kalimat tersebut, berharap kata-katanya akan berubah ketika aku membacanya sekali lagi. Tapi tidak, ia tetap menikah. Kalimatnya tetap sama. Perpisahannya tetap nyata.

Pada suratnya ia menuliskan bahwa waktu yang singkat yang ia jalani bersamaku, merupakan saat yang terindah dalam hidupnya yang tidak akan pernah ia lupakan. Dan alasan ia pergi dengan diam-diam adalah karena ia tidak mau menyakitiku. Ada bagian kertas yang kasar tersebar pada kertas surat itu. Aku terbayang air mata yang menetes bersamaan dengan tinta yang membahasi kertas. Kulipat surat tersebut dan kutarik nafas panjang.

Terkadang sulit memang bagi kita untuk mempercayai kenyataan pahit yang terjadi di depan kita secara tiba-tiba, bagaikan kaca yang susah payah kita bangun dengan melebur dan mendinginkannya, pecah begitu saja. Kadang kita hanya punya dua pilihan, terus dengan rasa sakit hati kita dan tenggelam dalam kebencian yang dalam. Kebencian yang mengharuskan kita membalas dendam atau setidaknya menularkannya kepada hati yang lain. Atau kita bisa percaya dengan kata-kata yang terdengar tulus itu, dan berusaha memaafkannya, sekalipun itu terdengar hanya mudah di ucapan saja.


Kini hidupku sudah berjalan terus sejak saat itu. Saat-saat kelam dalam hidupku yang kebanyakan dilalui dengan alkohol dan teriakan lepas ke laut luas sudah lama berlalu. Setelah itu aku sudah bertemu beberapa gadis lain yang istimewa, dan sudah berkencan dengan beberapa dari mereka. Aku bahkan sudah berencana untuk melamar pacarku yang sekarang, yang sudah mampu bersabar untuk berada di sisiku selama lebih dari dua tahun. Ketika orangtuanya sudah merestui kami, aku siap untuk membawanya ke pelaminan. Dulu ayahku pernah berkata, ketika engkau bertemu seorang gadis yang bisa membuat jantungmu berdebar tapi di saat bersamaan bisa membuat jiwamu berasa tentram dan seperti di rumah, nikahi gadis beruntung itu. Dan jangan pernah biarkan ia pergi.

Walaupun begitu, satu minggu yang terindah dalam hidupku tidak akan bisa kuhilangkan dari kenangan, sebagaimanapun kerasnya aku mencoba. Ia yang pernah menjadi bagian dari hidupku tidak bisa kuhilangkan begitu saja. Namun sebagaimana aku bisa mencintainya begitu dalam, aku yakin aku masih bisa melupakannya dan mencintai wanita lain. Aku yakin hatiku masih memiliki cinta yang cukup untuk jatuh cinta berkali-kali pada istriku nanti dalam seumur pernikahan kami. Biarlah seminggu termanis dalam hidupku jatuh terkubur menjadi kenangan dalam hujan. Biarlah aku mengingatnya dalam setiap tetes air yang jatuh dari awan, menyentuh tanah, dan pelan-pelan mengalir kembali ke laut dengan banyak cerita anak manusia. Biarlah hujan tidak lagi menjadi alat pembawa kebahagiaan dalam hidupku.

Biarkan saja hujan tetap bersedih, dan aku tetap terlarut di dalamnya. Biarkan saja hujan tetap romantis dengan caranya yang misterius. Biar saja ia masih menjadi pembawa kesedihan dari-Nya kepada kita...

2 komentar:

Anonim mengatakan...

beraaaaatttt bahasa nya booyyy.. tapiii touchy looohh.. nice!!!

Brom mengatakan...

Terima kasih banyak :)
Cerpen ini sebenernya ditulis, sangat sangat terinspirasi oleh Paulo Coelho.
Kalau ada kesempatan, boleh dibaca karya-karya beliau... Ga akan nyesel :)

Posting Komentar

Jadilah pembaca yang aktif, tinggalkan komentar dan mari berbagi pikiran!